Thursday, January 16, 2014

ADAB MUFRAD : Hadits 3: Berbakti pada IBU (Dirasat Rijal)


[SANAD & MATAN]


Al-Bukhary: Telah ceritakan pada kami Abu Ashim, dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, 'Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku berbakti?' Beliau bersabda:
أُمَّكَ
"Ibumu!"
Aku berkata, '(Lalu) kepada siapakah aku berbakti?' Beliau bersabda:
أُمَّكَ
"Ibumu!"
Aku berkata, '(Lalu) kepada siapakah aku berbakti?' Beliau bersabda:
أُمَّكَ
"Ibumu!"
Aku berkata, '(Lalu) kepada siapakah aku berbakti?' Beliau bersabda:
أَبَاكَ، ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ

"Ayahmu, lalu orang yang terdekat, lalu yang terdekat."

[DIRASAT RIJAL]


Sanad hadits ini: RASULULLAH <== Kakeknya Bahz [1] <-- Ayahnya Bahz [2] <---Bahz bin Hakim [3] <-- Abu Ashim [4] <-- Al-Bukhary

[1] Kakeknya Bahz: Mu'awiyah bin Haydah bin Mu'awiyah bin Qusyayr, sahabat Nabi; bermukim di Bashrah, wafat di Khurasan pada sebuah peperangan. Dipakai oleh al-Bukhary dalam "ash-Shahiih" untuk riwayat muallaqah (1/64), dan dalam "al-Adab al-Mufrad". Dipakai pula oleh keempat pemilik kitab Sunan: at-Tirmidzy, an-Nasa'aiy, Abu Daud dan Ibnu Majah. [Tahdziib al-Kamaal, 7/152, ar-Risaalah, cet. ke-2]

[2] Ayahnya Bahz: Hakim bin Mu'awiyah bin Haydah bin Mu'awiyah bin Qusyayr; perawi tingkat ke-3; di antara anaknya adalah Bahz, Sa'id dan Mihran. Ketiganya meriwayatkan hadits dari ayahnya (Hakim). Ahmad al-Ijly berkata: "Ia adalah seorang Tabi'iy yang tsiqah". An-Nasa'iy berkata: "Tidak ada cela dengannya.", dan Ibnu Hibban menyebut namanya dalam kitab "Ats-Tsiqah". Sebagaimana ayahnya (Mu'awiyah), al-Bukhary juga memakainya dalam "ash-Shahiih" untuk riwayat muallaqah (1/64), dan dalam "al-Adab al-Mufrad". Dipakai pula oleh keempat pemilik kitab Sunan: at-Tirmidzy, an-Nasa'aiy, Abu Daud dan Ibnu Majah. [Tahdziib al-Kamaal, 2/266]

[3] Bahz bin Hakim: Abu Abdil Malik al-Bashry, saudaranya Sa'id dan Mihran bin Hakim. Perawi tingkat ke-6; wafat pada tahun 143 H. Meriwayatkan dari ayahnya, dipakai oleh al-Bukhary secara muallaq, dan dalam "al-Adab al-Mufrad"; juga oleh keempat pemilik kitab "Sunan". [Tahdziib al-Kamaal, 1/382]

Memiliki beberapa hadits riwayat dari ayahnya, dari kakeknya, juga riwayat dari Zurarah bin Awfa. Disebut 'tsiqah' oleh Ali bin al-Madiny, Abu Daud dan an-Nasa'iy. Abu Daud juga berkata: 'Dia bagiku adalah hujjah', sehingga diterima haditsnya. Sementara al-Bukhary sendiri mengatakan bahwa para ulama berbeda pandangan mengenai Bahz ini. [Siyar A'laam an-Nubalaa', 6/25, adz-Dzahaby, ar-Risaalah, cet. 3]

Di antara yang berbeda, Ibnu Hibban dengan perkataannya:

يُخْطِئُ كَثِيْراً، وَهُوَ مِمَّنْ أَسْتَخِيْرُ الله فِيْهِ

"(Bahz) sering salah. Dia termasuk orang yang aku berharap baik padanya." [al-Majruuhiin, 1/194, Daar al-Wa'iy, cet. 1]

Ibnu Hibban termasuk ulama yang mutasaahil (bermudah-mudah) dalam ta'dil. Beliau memiliki metode sendiri dalam memasukkan siapa yang di-ta'dil dan siapa yang di-jarh; dengan mengklasifikasikan ke kitab "ats-Tsiqaat" untuk yang di-ta'dil, juga ke kitab "al-Majruuhiin" untuk yang di-jarh. Sementara ada beberapa perawi yang beliau melafalkan lafal taraddud (ragu-ragu) untuk men-ta'dil atau men-jarh.

Dan lafal "مِمَّنْ أَسْتَخِيْرُ الله فِيْهِ", sependek pengetahuan hamba adalah lafal khusus yang cuma diucapkan oleh Ibnu Hibban, tidak lainnya. Lafal tersebut boleh dikatakan termasuk lafal taraddud (ragu-ragu). Biarpun begitu, beliau memasukkan 3 rijal yang disifati dengan lafal tersebut dalam kitab "ats-Tsiqaat" dan 9 rijal dalam kitab "al-Majruuhiin". Kesemuanya mengindikasikan keraguan. Dan karena Bahz bin Hakim tertera di "al-Majruuhiin", maka artinya Bahz tergolong sebagai perawi yang ghayru maqbuul (tidak diterima) bagi Ibnu Hibban. Wallahu a'lam.

Sementara Ahmad bin Basyir (w. 197 H), seorang tabi' at-tabi'iin muda, perawi tingkatan ke-9 yang dipakai oleh al-Bukhary, mengatakan tentang Bahz:

رَأَيْتُهُ يَلْعَبُ بِالشَّطرَنْجِ

"Aku telah melihatnya (Bahz) bermain catur." [Siyar A'laam an-Nubalaa', 1/194]

Sementara, bermain catur adalah perkara yang diingkari oleh mayoritas ulama.

==> [Pandangan Ulama Hanafiyyah Soal Bermain Catur]

Dalam "Bada'i' ash-Shanaa'i'" (7/72) karya al-Kasany (w. 587 H) disebutkan bahwa mencuri alat-alat yang melalaikan seperti seruling dan semacamnya justru diperintahkan secara syar'i demi mencegah pemiliknya dari kemunkaran. Begitu juga mencuri catur terbuat dari perak atau emas. Disamakan dengan mencuri salib atau patung terbuat dari perak. Pelakunya tidak harus mengembalikan pada pemiliknya.

Dalam "al-Bahr ar-Raa'iq" (2/10) karya Ibnu Najim al-Mishry (w. 970 H) menyebutkan sebuah syair Shadr ad-Diin al-Ghazzy, di dalamnya dikatakan bahwa mengucapkan salam pada pemain catur (ketika bermain) itu makruh. Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap permainan catur.

Bahkan dalam "Radd al-Mukhtaar" (1/617), Ibnu Abidin (w. 1252 H) menyebutkan bahwa ada keserupaan antara pemain catur dengan pemain judi, pengghibah dan semacamnya, dari segi kefasikan, meskipun terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai hukum bermain catur.

==> [Pandangan Ulama Malikiyyah Soal Bermain Catur]

Dalam "al-Muqaddimaat wa al-Mumahhidaat" (3/467) karya Abu al-Walid ibn Rusyd al-Qurthuby (w. 520 H), dikatakan bahwa 'nard' (permainan dadu) dilarang oleh Rasulullah dengan nash "Barangsiapa yang bermain dengan dadu, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya", lalu catur pun dikiaskan dengannya. Sehingga catur dihukumi sebagai maksiat. Bahkan dikatakan bahwa al-Laits bin Sa'd menegaskan bahwa catur itu lebih buruk daripada dadu.

Dalam "adz-Dzakhiirah" (13/283-284) karya Al-Qarafy (w. 684 H), disebutkan bahwa duduk bersama pemain dadu saja dihukumi makruh. Dikatakan bahwa Malik memiliki dua pendapat mengenai catur, dan yang lebih shahih adalah haram! Malik mewajibkan bagi yang melewati orang yang sedang bermain catur, untuk berpaling darinya dan tidak menyalaminya sebagai pembelajaran baginya. Dikatakan pula bahwa catur itu bercampur dengan kekejian lisan, melalaikan shalat dan menghamburkan harta.

Dalam "at-Taaj wa al-Ikliil" (8/164) karya Abu Abdillah al-Gharnathy (w. 897 H), disebutkan dalam "al-Mudawwanah" bahwa catur lebih buruk dari dadu. Dan itu menurunkan muruu'ah (kewibawaan) seseorang.

==> [Pandangan Ulama Syafi'iyyah Soal Bermain Catur]

Dalam "al-Haawy al-Kabiir" (17/178-179), al-Mawardy (w. 450 H) menyebutkan bahwa madzhab Syafi'iyyah tidak mengharamkan catur sebagaimana madzhab Malikiyyah, dan tidak pula memakruhkannya dengan penekanan sebagaimana madzhab Hanafiyyah, melainkan sekadar memakruhkannya. Sebagian dari Syafi'iyyah membolehkannya. Kemudian beliau tuturkan beberapa riwayat bahwa sahabat dan tabi'in pun tak mengharamkannya. Adapaun berkaitan dengan 'adaalah', Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan bermain catur bisa menjadi 'jarh' bagi pelakunya. Adapun bagi Syafi'iyyah, sekadar bermain catur tanpa melalaikan waktu shalat atau kewajiban, maka itu tidak berpengaruh pada 'adaalah' seseorang.

Dalam "Mughny al-Muhtaaj" (6/347), karya asy-Syarbiny (w. 977 H), ditegaskan bahwa bermain catur adalah makruh jika tanpa mensyaratkan uang. Adapun jika mensyaratkan uang, maka menjadi haram.

Dalam "I'aanah ath-Thaalibiin" (4/324-327), karya al-Bakry (w. 1302 H), juga ditegaskan akan kemakruhannya. Jika mensyaratkan uang atau melalaikan dari shalat, maka menjadi haram.

==> [Pandangan Ulama Hanabilah Soal Bermain Catur]

Dalam "Masaa'il al-Imaam Ahmad" (1/372, no. 1801), oleh Abu Daud (w. 275 H), disebutkan tentang seorang laki-laki melewati suatu kaum bermain catur. Ia pun mengambil catur tersebut lalu melemparnya. Ahmad berkata: "Ia telah berbuat bagus!" Ia tidak harus mengganti papan catur tersebut meskipun patah, rusak dan sebagainya.

Dalam "al-Kaafy" (4/273), oleh Ibnu Qudamah (w. 620 H), ditegaskan bahwa bermain dadu dan catur haram, meskipun tanpa perjudian. Disebutkan bahwa Ali -radhiyallahu anh- melewati kaum pemain catur lalu mengingkari perbuatan mereka.

Dalam "al-Inshaaf" (6/249), karya al-Mardawy (w. 885 H), disebutkan bahwa yang zahir dari pendapat Hanabilah: Papan catur termasuk alat yang melalaikan (aalah al-lahw). Kemudian al-Mardawy menanggapi dengan: Bahkan papan catur termasuk alat yang paling melalakan!

Jika hikayat Ahmad bin Basyir tentang Bahz bin Hakim dijadikan sebagai sandaran jarh, disebabkan jumhur ulama sendiri secara tidak tersurat mengatakan bahwa 'bermain catur' menurunkan derajat adaalah seseorang.

-

[4] Abu Ashim: Dhahhak bin Makhlad, perawi tsiqah tingkatan ke-9, dipakai oleh al-Bukhary dan Muslim. Wafat di Bashrah pada tahun 212 H.

---------

No comments:

Post a Comment