Beberapa di antara
kaum yang berusaha mengikuti Sunnah Nabi dan tidak bertaqlid buta saling
berselisih perihal hukum berdakwah di layar televisi. Saya maksudkan kemutlakan
dari lafal 'televisi' adalah tanpa taqyid, atau keumumannya tanpa pengkhususan.
Yakni: Apakah boleh menggunakan video sebagai media dakwah?
Garis besar
menceritakan bahwa ada dua pendapat bertentangan. Satunya mengharamkan sama
sekali, dan selainnya mempersilakan, dengan tinjauan maslahat dan alasan
lainnya. Syukurlah, pihak kedua adalah mayoritas. Sama seperti perbedaan
pendapat dalam membuat organisasi, yayasan dan semacamnya. Satunya mengharamkan
benar-benar, dan selainnya mempersilakan, dengan tinjauan maslahat dan alasan
lainnya.
Sayangnya, pihak
yang mengharamkan -secara realita nyata dan maya- seringkali tidak berlaku
inshaf. Bahkan biarpun hujjah lawannya valid, tetap saja mereka tidak insaf
dari ketidak-inshaf-an. Lebih disayangkan lagi, aroma kedengkian terendus dari
nada dan susunan kata.
Sekarang, ayolah
memetakan realita.
Kaum kuffar, kaum
Syi'ah, para promotor Bid'ah, dan penyembah syahwat berjaya di mana-mana. Media
telah membantu penggencaran. Andai semua kanal TV, dari TV kabel hingga TV
Wireless (emang ada?), penuh dengan kebinatangan. Lalu tidak ada perlawanan dan
penandingan dari kaum yang shaleh? Diam saja tak bergerak? Mencukupkan mulut
yang bergerak misuh-misuh? Mengutuk? Melaknat? Menyayangkan? Sudah?
Justru eksistensi TV
Dakwah (bukan dakwah yang menyimpang tentunya) sangat vital, esensial, dan
dibutuhkan. Jika kemudian ikhwah dari golongan lain membuat TV Dakwah -sesuai
dengan nafas dan manhaj mereka-, seperti ikhwah pro-Partai (misalnya), lalu apa
kita cuma duduk mencaci, membenci, mengkritisi dan menyibukkan diri dengan
mencari-cari celah khalal (kesalahan) mereka? Ini ghariib (aneh). Oh,
mungkin kita akan beralasan, 'Kita ini kan Ghurabaa''.
Tidak begitu, kawan.
Sebagian ikhwah,
yang bertaqlid pada guru-gurunya, atau guru-guru guru-gurunya, ketika
mendapatkan kelompoknya tidak mampu mengarsir dan menjangkau banyak lahan
dakwah yang bisa dinikmati khalayak ramai, lalu melihat ikhwah perguruan lain
ternyata mampu melakukannya dengan efektif dan penuh potensi, akan terbit
rasa-rasa di hati. Nama-nama dari berbagai rasa tersebut:
[1] Iri
[2] Cemburu
[3] Sebal
dan lain-lain.
Dari situlah, muncul
mal-praktek Jarh wa Tajriih. Konsentrasinya bukan pada rijal yang muttaham
bil kadzib atau wadh', melainkan rijal dari masyaahiir
(orang-orang masyhur) yang talaqqathumul ummat bil qabuul (diterima oleh
umat) disebabkan kebaikan dakwahnya, bagus pembawaannya, dan berguna. Tentu,
yang saya maksud adalah rijal yang tsiqah, bukan rijal-rijalan.
Contoh yang terlunak
bagi saya adalah Radio Rodja. Penyebutan ini tentu tidak mengisyaratkan saya
berfanatik dengannya; melainkan sebagai salah satu tarekat syukur akan
keberadaannya. Ehm...meskipun sejujurnya, saya pribadi jarang menyimaknya;
disebabkan ada beberapa wasilah mencari ilmu yang lebih pas untuk saya pribadi.
Saya terharu
benar-benar ketika masih mengajar kursusan English di area Mampang (Jakarta
Selatan), di sebuah jalan kecil yang saya lalui, selalu saya melewati pula
sebuah kios jahit milik seorang penjahit berkelamin pria. Kios itu tepat di
samping pangkalan ojek. Daerah itu memiliki beberapa warung makan. Karenanya, banyak
para pegawai kantor ngaso di sana saban jam istirahat. Yang membuat saya
terharu adalah kios itu selalu menghidupkan Radio Rodja, apapun yang disiarkan,
baik sekadar lantunan al-Qur'an, maupun kajian para asaatidzah yang semoga
dimuliakan Allah di dunia dan akhirat.
Itu bukan
satu-satunya contoh.
Tak saya hitung
berapa kios saya lewati selama jiwa masih dikandung raga, yang pemilik atau
penunggunya menyimak Rodja. Ini benar-benar sebuah karamah dan keberkahan.
Moga-moga Rodja tidak 'dikeramatkan'. Namun, tanda-tandanya sudah tercium,
kawan. Tak sekali, ada kejadian kecil yang mengisyaratkan beberapa ikhwah atau
akhwat -terutama Ummahat baru taubat- yang sangat terkesan mempraktekkan
dua 'Kaedah Bahluliyah':
[1] "Jika
Benar ia pro-Rodja, maka ia semanhaj denganku." Ini biasanya
diterapkan untuk mengabulkan pdkt atau pertemanan orang. Jadi, seolah mizan,
neraca atau barometer baik atau buruknya makhluk hidup adalah 'Apa pendapat
antum tentang Rodja?' atau 'Antum pernah ngaji dengan Ustadz Fulan (sebut
ustadz2 yang pernah ngisi di Rodja)?' Jika jawabannya membuat ridha, maka
jadilah teman (karena menganggapnya semanhaj). Jika jawabannya membuat
tercubit, maka harus diwaspadai (karena menganggapnya tidak semanhaj). Jika
jawabannya tidak tahu atau mujmal, maka tidak ada sikap (karena menganggapnya
'orang awam'). Hhhh...
[2] "Jika ia
dikenal oleh ustadz atau ikhwah Rodja, maka ia boleh mengajar." Ini
kadang diterapkan untuk mengabulkan permohonan mengajar di suatu tempat,
lingkungan, organisasi, yayasan atau apapun itu yang pro-Rodja. Jangan antum
kira yang begini tidak ada. Justru bibitnya ada. Jadi, untuk menjadi dai atau
penyebar ilmu, harus dikenal dulu sama asatidzah yang mu'tabar.
Jika tidak dikenal: berarti 'majhul'. Seolah para asatidzah Rodja
itu ulama Jarh wa Ta'dil dalam men-tsiqah-kan, meng-hasan-kan,
men-dha'if-kan atau men-tuhmah para dai.
Seorang ustadz
besar, yakni: mudir sebuah pesantren bermanhaj sahih yang saya kenal baik dan
adalah guru saya di era 2003/04, pernah ditelepon oleh seorang ummahat;
yang sedang mencari pondok beraliran S untuk anaknya. Ummahat ini cukup
cerewet. Maap maap. Memang begitu. Ustadz saya dicecar dengan pertanyaan
manhajy yang klasik:
"Antum pernah
ngisi ga di Rodja?"
"Antum kenal
ustadz fulan (sebut ustadz besar dari Rodja)?"
"Apakah ustadz
fulan kenal antum?"
"Antum lulusan
mana?"
Capek. Ustadz saya
tersinggung dan sudah biasa dibegitukan semenjak Rodja booming. Boomingnya kita
syukuri. Namun sikap sebagian ikhwah-akhwat yang 'mendapat tebaran cahaya
Sunnah' ini yang kerap mengesalkan. Padahal, beliau (ustadz saya) dahulu pernah
mengisi di Rodja. Asatidzahnya juga rekannya. Bahkan, sukses ilmu dan harta
lebih awal sebelum para punggawa Rodja belum merasakannya.
Namun, pamoritas dan
rasa cinta yang tidak dimanage dengan baik kerap menimbulkan fitnah. Maksud saya:
Baiknya aturlah rasa cinta tidak dari segi pamoritas orang yang dicinta. Jika
ia masyhur, maka makin tumbuh cinta. Jika ia majhul, maka yang ada malah
curiga.
Adapun pihak
sebaliknya yang full-berseberangan, lebih buruk lagi. Segala tentang Rodja: negatif.
Padahal sama-sama berseragam muttabi' 3 qurun terawal. Tapi khilaf, niza'
dan musyaajarah nya kerap bikin sakit jiwa. Secara umum, kesimpulan saya
pribadi: Ikhwah ekstrim ini menanggapi eksistensi Rodja dengan arogan,
sementara ikhwah lawannya menanggapi eksistensi mereka dengan elegan. Secara
umum begitu.
Jika di negeri ini
dibuat Lajnah Daimah yang menyertakan antar golongan, maka pihak Anti-Rodja
yang ekstrim ini segerobak dengan neo-Khawarij, ekstrimis Aswaja, Syi'ah dan
Sepilis. Mereka setubuh dalam hal ini. Bahkan, kadang kekejian lidah dan tangan
mereka bisa melampaui keempat golongan yang telah tersebutkan.
Berhentilah wahai
ikhwah. You can see. Maksudnya bukan jenis celana, melainkan antum sudah
lihat sendiri berkahnya dakwah para asaatidzah dari Radio Rodja. Namun, antum
melihat dengan mata kedengkian. Baiklah, antum melihat dengan mata kecemburuan,
namun bukan kecemburuan dalam beragama, melainkan kecemburuan dalam bertaqlid
buta, hasad dan ikut-ikutan. Jangan menelanjangi diri sendiri atau kelompok
sendiri dengan berusaha mencari-cari celah agar bisa menelanjangi dai-dai yang
baik. Kasihan kita-kita; yang melihat sebuah realita: seseorang berusaha
memeloroti celana orang besar, tetapi tidak sadar celananya sendiri kedodoran,
saking seriusnya ingin melihat apa yang memalukan dari hardisk internal orang
besar.
Bagi para mubtadi'iin
(para pemula) dalam mencari ilmu, tidak harus mempelajari apa itu Sururi,
Hizby, perselisihan antara Petruk dengan Gareng, diskon kulit bunglon, dan
seterusnya.
Bagi para mutawassithiin
(para menengah) dalam mencari ilmu, karena sudah mampu menelaah kitab-kitab, ya
janggal Van Jonggol juga kalau malah ujungnya ke Camp Concentration of Jarh
wa Tajriih yang disalahgunakan. Mending ajar para pemula bagaimana caranya
berdiri di atas air, atau membuat gubuk, atau meminum tinta, dan seterusnya.
Bagi para muntahiin
(para senior kelas berat) dalam mencari ilmu, tentu lebih tahu apa yang layak
dilakukan di setiap waktu.
Kenapa sih kita
seringkali ngoceh sia-sia dan tidak ada faedahnya serta tak mencerminkan orang
terdidik dengan manhaj yang benar?
Mungkin karena kita
membaca, tetapi tidak membuat kita merasa makin bodoh.
Mungkin karena kita
belajar, tetapi membuat kita merasa paling pintar.
Mungkin...karena
kita malas belajar dan malas membaca, lalu mengklaim 'sudah ngaji' dan 'sudah
dapat cahaya Sunnah'. Wali kah? Wali piro?
Kenapa sih orang
besar dan baik ada saja yang benci?
Kalau untuk kasus
yang dibahas di status ini:
[1] Karena berawal
dari iri. Setelah iri:
[2] Curiga. Karena
curiga, maka:
[3] Mencari-cari
kesalahan. Setelah menemukan:
[4] Tidak mau
komunikasi untuk tabayyun dan tatsabbut.
Iri, jika
dipelihara, akan menafikan keinginan untuk tabayyun, melainkan langsung
hantam saja. Makanya, akhirnya:
[5] Terbitlah fatwa
ayat sekian, pasal sekian, bab sekian, tahun sekian, dari ustadz Fulan.
Makanya, iri perlu
di-manage. Ada syair begini:
لا تحقرن صغيرة......إن الجبال
من الحصى
"Jangan
remehkan perkara kecil....sesungguhnya gunung-gunung itu dari kerikil"
Syair tersebut milik
ibn al-Mu'tazz; awalnya berbicara tentang dosa. Tapi, tidak apa-apa juga kalau
kita jadikan syaahid untuk perkara ini.
Jangan remehkan
perkara iri sedari awal. Kalau iri dibiarkan begitu saja, lama-lama menjadi
besar, berbukit dan jadi pegunungan. Kalau sudah jadi gunung, pasti merasa
tinggi. Jadinya: Sombong. Makanya, orang dengki itu di dalam hatinya ada dua
rasa buruk:
[1] Iri
[2] Sombong
Iri terhadap
keutamaan orang.
Sombong dengan
meninggikan diri.
Jangan sampai deh
tanduk Iblis dikenakan di kepala ustadz atau dai. Mahkota Iblis itu untuk orang
kafir dan munafik saja. Kalau untuk orang beriman, cukuplah rasa taqwa,
keimanan dan beramal saleh sebagai kemuliaan buat mereka, seperti di awal Surat
al-Baqarah. Jadilah orang beriman dengan ciri khasnya.
Kalau jadi seperti
orang kafir, seperti dalam awal al-Baqarah, mau dinasehati bagaimanapun, ya
tetap saja berkeras hati.
Kalau jadi seperti orang
munafik, seperti dalam awal al-Baqarah, ditutuplah hati, pandangan dan
pendengaran.
Ngerinya, orang yang
dengki rata-rata keras hati, tidak gubris nasehat dan tertutup.
Jangan tanya
rumput-rumput yang bergoyang. Itu hanya petuah kosong dalam nyanyian.
Tetapi, ayo buka
kembali al-Qur'an, kitab-kitab hadits dan sirah orang-orang saleh. Mereka tidak
iri pada kita; karena senormalnya...kitalah yang harus iri pada mereka.
No comments:
Post a Comment