Thursday, January 16, 2014

Suara Rakyat

Beberapa di antara kaum yang berusaha mengikuti Sunnah Nabi dan tidak bertaqlid buta saling berselisih perihal hukum berdakwah di layar televisi. Saya maksudkan kemutlakan dari lafal 'televisi' adalah tanpa taqyid, atau keumumannya tanpa pengkhususan. Yakni: Apakah boleh menggunakan video sebagai media dakwah?

Garis besar menceritakan bahwa ada dua pendapat bertentangan. Satunya mengharamkan sama sekali, dan selainnya mempersilakan, dengan tinjauan maslahat dan alasan lainnya. Syukurlah, pihak kedua adalah mayoritas. Sama seperti perbedaan pendapat dalam membuat organisasi, yayasan dan semacamnya. Satunya mengharamkan benar-benar, dan selainnya mempersilakan, dengan tinjauan maslahat dan alasan lainnya.


Sayangnya, pihak yang mengharamkan -secara realita nyata dan maya- seringkali tidak berlaku inshaf. Bahkan biarpun hujjah lawannya valid, tetap saja mereka tidak insaf dari ketidak-inshaf-an. Lebih disayangkan lagi, aroma kedengkian terendus dari nada dan susunan kata.

Sekarang, ayolah memetakan realita.

Kaum kuffar, kaum Syi'ah, para promotor Bid'ah, dan penyembah syahwat berjaya di mana-mana. Media telah membantu penggencaran. Andai semua kanal TV, dari TV kabel hingga TV Wireless (emang ada?), penuh dengan kebinatangan. Lalu tidak ada perlawanan dan penandingan dari kaum yang shaleh? Diam saja tak bergerak? Mencukupkan mulut yang bergerak misuh-misuh? Mengutuk? Melaknat? Menyayangkan? Sudah?

Justru eksistensi TV Dakwah (bukan dakwah yang menyimpang tentunya) sangat vital, esensial, dan dibutuhkan. Jika kemudian ikhwah dari golongan lain membuat TV Dakwah -sesuai dengan nafas dan manhaj mereka-, seperti ikhwah pro-Partai (misalnya), lalu apa kita cuma duduk mencaci, membenci, mengkritisi dan menyibukkan diri dengan mencari-cari celah khalal (kesalahan) mereka? Ini ghariib (aneh). Oh, mungkin kita akan beralasan, 'Kita ini kan Ghurabaa''.

Tidak begitu, kawan.

Sebagian ikhwah, yang bertaqlid pada guru-gurunya, atau guru-guru guru-gurunya, ketika mendapatkan kelompoknya tidak mampu mengarsir dan menjangkau banyak lahan dakwah yang bisa dinikmati khalayak ramai, lalu melihat ikhwah perguruan lain ternyata mampu melakukannya dengan efektif dan penuh potensi, akan terbit rasa-rasa di hati. Nama-nama dari berbagai rasa tersebut:

[1] Iri
[2] Cemburu
[3] Sebal
dan lain-lain.

Dari situlah, muncul mal-praktek Jarh wa Tajriih. Konsentrasinya bukan pada rijal yang muttaham bil kadzib atau wadh', melainkan rijal dari masyaahiir (orang-orang masyhur) yang talaqqathumul ummat bil qabuul (diterima oleh umat) disebabkan kebaikan dakwahnya, bagus pembawaannya, dan berguna. Tentu, yang saya maksud adalah rijal yang tsiqah, bukan rijal-rijalan.

Contoh yang terlunak bagi saya adalah Radio Rodja. Penyebutan ini tentu tidak mengisyaratkan saya berfanatik dengannya; melainkan sebagai salah satu tarekat syukur akan keberadaannya. Ehm...meskipun sejujurnya, saya pribadi jarang menyimaknya; disebabkan ada beberapa wasilah mencari ilmu yang lebih pas untuk saya pribadi.

Saya terharu benar-benar ketika masih mengajar kursusan English di area Mampang (Jakarta Selatan), di sebuah jalan kecil yang saya lalui, selalu saya melewati pula sebuah kios jahit milik seorang penjahit berkelamin pria. Kios itu tepat di samping pangkalan ojek. Daerah itu memiliki beberapa warung makan. Karenanya, banyak para pegawai kantor ngaso di sana saban jam istirahat. Yang membuat saya terharu adalah kios itu selalu menghidupkan Radio Rodja, apapun yang disiarkan, baik sekadar lantunan al-Qur'an, maupun kajian para asaatidzah yang semoga dimuliakan Allah di dunia dan akhirat.

Itu bukan satu-satunya contoh.

Tak saya hitung berapa kios saya lewati selama jiwa masih dikandung raga, yang pemilik atau penunggunya menyimak Rodja. Ini benar-benar sebuah karamah dan keberkahan. Moga-moga Rodja tidak 'dikeramatkan'. Namun, tanda-tandanya sudah tercium, kawan. Tak sekali, ada kejadian kecil yang mengisyaratkan beberapa ikhwah atau akhwat -terutama Ummahat baru taubat- yang sangat terkesan mempraktekkan dua 'Kaedah Bahluliyah':

[1] "Jika Benar ia pro-Rodja, maka ia semanhaj denganku." Ini biasanya diterapkan untuk mengabulkan pdkt atau pertemanan orang. Jadi, seolah mizan, neraca atau barometer baik atau buruknya makhluk hidup adalah 'Apa pendapat antum tentang Rodja?' atau 'Antum pernah ngaji dengan Ustadz Fulan (sebut ustadz2 yang pernah ngisi di Rodja)?' Jika jawabannya membuat ridha, maka jadilah teman (karena menganggapnya semanhaj). Jika jawabannya membuat tercubit, maka harus diwaspadai (karena menganggapnya tidak semanhaj). Jika jawabannya tidak tahu atau mujmal, maka tidak ada sikap (karena menganggapnya 'orang awam'). Hhhh...

[2] "Jika ia dikenal oleh ustadz atau ikhwah Rodja, maka ia boleh mengajar." Ini kadang diterapkan untuk mengabulkan permohonan mengajar di suatu tempat, lingkungan, organisasi, yayasan atau apapun itu yang pro-Rodja. Jangan antum kira yang begini tidak ada. Justru bibitnya ada. Jadi, untuk menjadi dai atau penyebar ilmu, harus dikenal dulu sama asatidzah yang mu'tabar. Jika tidak dikenal: berarti 'majhul'. Seolah para asatidzah Rodja itu ulama Jarh wa Ta'dil dalam men-tsiqah-kan, meng-hasan-kan, men-dha'if-kan atau men-tuhmah para dai.
Seorang ustadz besar, yakni: mudir sebuah pesantren bermanhaj sahih yang saya kenal baik dan adalah guru saya di era 2003/04, pernah ditelepon oleh seorang ummahat; yang sedang mencari pondok beraliran S untuk anaknya. Ummahat ini cukup cerewet. Maap maap. Memang begitu. Ustadz saya dicecar dengan pertanyaan manhajy yang klasik:

"Antum pernah ngisi ga di Rodja?"
"Antum kenal ustadz fulan (sebut ustadz besar dari Rodja)?"
"Apakah ustadz fulan kenal antum?"
"Antum lulusan mana?"

Capek. Ustadz saya tersinggung dan sudah biasa dibegitukan semenjak Rodja booming. Boomingnya kita syukuri. Namun sikap sebagian ikhwah-akhwat yang 'mendapat tebaran cahaya Sunnah' ini yang kerap mengesalkan. Padahal, beliau (ustadz saya) dahulu pernah mengisi di Rodja. Asatidzahnya juga rekannya. Bahkan, sukses ilmu dan harta lebih awal sebelum para punggawa Rodja belum merasakannya.

Namun, pamoritas dan rasa cinta yang tidak dimanage dengan baik kerap menimbulkan fitnah. Maksud saya: Baiknya aturlah rasa cinta tidak dari segi pamoritas orang yang dicinta. Jika ia masyhur, maka makin tumbuh cinta. Jika ia majhul, maka yang ada malah curiga.

Adapun pihak sebaliknya yang full-berseberangan, lebih buruk lagi. Segala tentang Rodja: negatif. Padahal sama-sama berseragam muttabi' 3 qurun terawal. Tapi khilaf, niza' dan musyaajarah nya kerap bikin sakit jiwa. Secara umum, kesimpulan saya pribadi: Ikhwah ekstrim ini menanggapi eksistensi Rodja dengan arogan, sementara ikhwah lawannya menanggapi eksistensi mereka dengan elegan. Secara umum begitu.

Jika di negeri ini dibuat Lajnah Daimah yang menyertakan antar golongan, maka pihak Anti-Rodja yang ekstrim ini segerobak dengan neo-Khawarij, ekstrimis Aswaja, Syi'ah dan Sepilis. Mereka setubuh dalam hal ini. Bahkan, kadang kekejian lidah dan tangan mereka bisa melampaui keempat golongan yang telah tersebutkan.

Berhentilah wahai ikhwah. You can see. Maksudnya bukan jenis celana, melainkan antum sudah lihat sendiri berkahnya dakwah para asaatidzah dari Radio Rodja. Namun, antum melihat dengan mata kedengkian. Baiklah, antum melihat dengan mata kecemburuan, namun bukan kecemburuan dalam beragama, melainkan kecemburuan dalam bertaqlid buta, hasad dan ikut-ikutan. Jangan menelanjangi diri sendiri atau kelompok sendiri dengan berusaha mencari-cari celah agar bisa menelanjangi dai-dai yang baik. Kasihan kita-kita; yang melihat sebuah realita: seseorang berusaha memeloroti celana orang besar, tetapi tidak sadar celananya sendiri kedodoran, saking seriusnya ingin melihat apa yang memalukan dari hardisk internal orang besar.

Bagi para mubtadi'iin (para pemula) dalam mencari ilmu, tidak harus mempelajari apa itu Sururi, Hizby, perselisihan antara Petruk dengan Gareng, diskon kulit bunglon, dan seterusnya.

Bagi para mutawassithiin (para menengah) dalam mencari ilmu, karena sudah mampu menelaah kitab-kitab, ya janggal Van Jonggol juga kalau malah ujungnya ke Camp Concentration of Jarh wa Tajriih yang disalahgunakan. Mending ajar para pemula bagaimana caranya berdiri di atas air, atau membuat gubuk, atau meminum tinta, dan seterusnya.

Bagi para muntahiin (para senior kelas berat) dalam mencari ilmu, tentu lebih tahu apa yang layak dilakukan di setiap waktu.

Kenapa sih kita seringkali ngoceh sia-sia dan tidak ada faedahnya serta tak mencerminkan orang terdidik dengan manhaj yang benar?

Mungkin karena kita membaca, tetapi tidak membuat kita merasa makin bodoh.
Mungkin karena kita belajar, tetapi membuat kita merasa paling pintar.
Mungkin...karena kita malas belajar dan malas membaca, lalu mengklaim 'sudah ngaji' dan 'sudah dapat cahaya Sunnah'. Wali kah? Wali piro?

Kenapa sih orang besar dan baik ada saja yang benci?

Kalau untuk kasus yang dibahas di status ini:
[1] Karena berawal dari iri. Setelah iri:
[2] Curiga. Karena curiga, maka:
[3] Mencari-cari kesalahan. Setelah menemukan:
[4] Tidak mau komunikasi untuk tabayyun dan tatsabbut.
Iri, jika dipelihara, akan menafikan keinginan untuk tabayyun, melainkan langsung hantam saja. Makanya, akhirnya:
[5] Terbitlah fatwa ayat sekian, pasal sekian, bab sekian, tahun sekian, dari ustadz Fulan.
Makanya, iri perlu di-manage. Ada syair begini:

لا تحقرن صغيرة......إن الجبال من الحصى

"Jangan remehkan perkara kecil....sesungguhnya gunung-gunung itu dari kerikil"

Syair tersebut milik ibn al-Mu'tazz; awalnya berbicara tentang dosa. Tapi, tidak apa-apa juga kalau kita jadikan syaahid untuk perkara ini.

Jangan remehkan perkara iri sedari awal. Kalau iri dibiarkan begitu saja, lama-lama menjadi besar, berbukit dan jadi pegunungan. Kalau sudah jadi gunung, pasti merasa tinggi. Jadinya: Sombong. Makanya, orang dengki itu di dalam hatinya ada dua rasa buruk:

[1] Iri
[2] Sombong

Iri terhadap keutamaan orang.
Sombong dengan meninggikan diri.

Jangan sampai deh tanduk Iblis dikenakan di kepala ustadz atau dai. Mahkota Iblis itu untuk orang kafir dan munafik saja. Kalau untuk orang beriman, cukuplah rasa taqwa, keimanan dan beramal saleh sebagai kemuliaan buat mereka, seperti di awal Surat al-Baqarah. Jadilah orang beriman dengan ciri khasnya.

Kalau jadi seperti orang kafir, seperti dalam awal al-Baqarah, mau dinasehati bagaimanapun, ya tetap saja berkeras hati.

Kalau jadi seperti orang munafik, seperti dalam awal al-Baqarah, ditutuplah hati, pandangan dan pendengaran.

Ngerinya, orang yang dengki rata-rata keras hati, tidak gubris nasehat dan tertutup.
Jangan tanya rumput-rumput yang bergoyang. Itu hanya petuah kosong dalam nyanyian.


Tetapi, ayo buka kembali al-Qur'an, kitab-kitab hadits dan sirah orang-orang saleh. Mereka tidak iri pada kita; karena senormalnya...kitalah yang harus iri pada mereka.

No comments:

Post a Comment