Memulai
tulisan kecil ini, saya ingin memberikan sebuah sample yang parah. Pezina.
Arabicnya: 'az-zaaniyah' (الزَّانِية). Ada pertanyaan:
'Ada
ayat ke-2 di Surat an-Nuur berbunyi awalnya:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ
مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍۢ
"Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera."
Kenapa
kok didahulukan az-zaaniyah (perempuan pezina) dibanding az-zaany (laki
pezina)?'
Asy-Syawkany
(w. 1250 H) menjawabnya dengan 4 kemungkinan (dengan ungkapan versi saya):
[1]
Karena pada zaman turunnya ayat itu, pezina wanita lebih banyak daripada
lelaki; bahkan mereka (para pezina dari kaum wanita) memberikan bendera di
pintu-pintu rumah mereka yang menandakan mereka 'ready'. Kiaskan dengan gaya
mereka di zaman sekarang.
[2]
Karena perempuan dalam kasus zina, adalah ASAL dari perbuatan. Maksudnya:
penyebabnya pada dasarnya ya mereka.
[3]
Karena syahwat dalam perempuan umumnya lebih banyak.
[4]
Karena yang 'telanjang' dari perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki.
Lihat
Fath al-Qadiir, (4/6). Dan keempatnya bisa dikatakan berlaku sampai
sekarang.
Apa
korelasinya dengan "Saya Tidak Tersenyum pada Sembarang Orang?"
Korelasinya
entah. Tetapi fikirkan, yakni tentang para model di majalah-majalah, atau di
manapun. Senyum mereka genit. Liukan dan pose mereka menggoda. Ketemu?
Baiklah.
Ada cerita begini:
'Sebut
saja nama saya M. Saya pernah berdiri di bagian penerima kapal penumpang tempat
saya bekerja, bersama dengan kapten, istrinya dan beberapa awak kapal. Seorang
penumpang dengan senyum menawan menjabat tangan saya. Saat ia berada di
hadapan, ia pamerkan senyum penuh pesona. Terlihat deretan gigi yang seputih
tuts piano baru. Saya terpesona. Ia seperti sebuah cahaya cemerlang yang
memancar di ruangan. Saya katakan padanya semoga ia menikmati pelayarannya dan
berharap dapat bertemu dengan pria menarik itu nanti.
Kemudian
ia diperkenalkan pada orang berikutnya. Saya selalu memperhatikannya. Saya
melihat kilauan yang persis sama. Pada orang ketiga, juga dengan senyum yang
sama. Ketertarikan saya mulai berkurang.
Begitu
seterusnya, pada orang keempat, kelima, dan keenam. Saya tidak merasa tertarik
lagi untuk berbicara dengannya.' [Karisma Sang Pembicara, Memberi Wibawa di
Setiap Kata-kata, hal. 59-60, Eugane Enrich dkk]
Kenapa
begitu?
Karena
senyumannya, meski penuh pesona, tidak mencerminkan reaksi khusus pada M. Jika
saja pembaca dari kalangan wanita bertemu dengan seorang pemuda yang tampan,
lalu tersenyum pada Anda. Anda kemudian kelepek-kelepek. Anda pun -dengan
instinct kegadisan- mulai memperhatikannya. Ternyata ia melukis senyum yang
sama pada gadis lain. Gadis ketiga juga begitu. Janda pun disenyumi dengan
format yang sama. Hingga nenek-nenek juga digitui. Pasti Anda kecewa. Setelah
tertarik, rasanya tidak lagi. Karena Anda merasa sebelumnya diistimewakan,
namun kemudian ternyata Anda tahu Anda bukanlah orang istimewa baginya. Dan
senyumannya tidak istimewa lagi bagi Anda kemudian.
Senyumlah
sesuai apa di hati.
Jika
kawan melawak, Anda akan tersenyum, bukan?
Namun
jika lawan atau yang Anda dengkikan melawak, apakah Anda akan menahan diri
kuat-kuat agar tidak tersenyum?
Begitu
juga:
Jika
kawan membuat status bagus dan Anda suka, Anda akan menekan 'like', bukan?
Namun,
jika lawan atau yang Anda dengkikan membuat status bagus, Anda senang isinya,
namun mengingat Anda sebal atau dengki terhadapnya, apakah Anda akan menahan
diri kuat-kuat agar tidak ngelike status?
Percayalah,
urusan 'like' status ini untuk masa kini penuh dengan ketidakadilan. Gadis
memajang foto manis, lalu me-like status pujaannya, demi dilihat oleh sang
pujaan di notifikasi. Muqallid pun bertaqlid pada ustadznya atau gurunya dengan
cara 'like' dulu baru memahami.
Kalau
begitu, Anda boleh ubah judul tulisan ini menjadi:
[Katakan:
'Saya Tidak Nge-like Status Sembarang Orang']
No comments:
Post a Comment