Wednesday, January 15, 2014

Katakan: 'Saya Tidak Tersenyum pada Sembarang Orang'

Memulai tulisan kecil ini, saya ingin memberikan sebuah sample yang parah. Pezina. Arabicnya: 'az-zaaniyah' (الزَّانِية). Ada pertanyaan:

'Ada ayat ke-2 di Surat an-Nuur berbunyi awalnya:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍۢ

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera."

Kenapa kok didahulukan az-zaaniyah (perempuan pezina) dibanding az-zaany (laki pezina)?'

Asy-Syawkany (w. 1250 H) menjawabnya dengan 4 kemungkinan (dengan ungkapan versi saya):

[1] Karena pada zaman turunnya ayat itu, pezina wanita lebih banyak daripada lelaki; bahkan mereka (para pezina dari kaum wanita) memberikan bendera di pintu-pintu rumah mereka yang menandakan mereka 'ready'. Kiaskan dengan gaya mereka di zaman sekarang.

[2] Karena perempuan dalam kasus zina, adalah ASAL dari perbuatan. Maksudnya: penyebabnya pada dasarnya ya mereka.

[3] Karena syahwat dalam perempuan umumnya lebih banyak.

[4] Karena yang 'telanjang' dari perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki.

Lihat Fath al-Qadiir, (4/6). Dan keempatnya bisa dikatakan berlaku sampai sekarang.

Apa korelasinya dengan "Saya Tidak Tersenyum pada Sembarang Orang?"


Korelasinya entah. Tetapi fikirkan, yakni tentang para model di majalah-majalah, atau di manapun. Senyum mereka genit. Liukan dan pose mereka menggoda. Ketemu?

Baiklah. Ada cerita begini:

'Sebut saja nama saya M. Saya pernah berdiri di bagian penerima kapal penumpang tempat saya bekerja, bersama dengan kapten, istrinya dan beberapa awak kapal. Seorang penumpang dengan senyum menawan menjabat tangan saya. Saat ia berada di hadapan, ia pamerkan senyum penuh pesona. Terlihat deretan gigi yang seputih tuts piano baru. Saya terpesona. Ia seperti sebuah cahaya cemerlang yang memancar di ruangan. Saya katakan padanya semoga ia menikmati pelayarannya dan berharap dapat bertemu dengan pria menarik itu nanti.

Kemudian ia diperkenalkan pada orang berikutnya. Saya selalu memperhatikannya. Saya melihat kilauan yang persis sama. Pada orang ketiga, juga dengan senyum yang sama. Ketertarikan saya mulai berkurang.

Begitu seterusnya, pada orang keempat, kelima, dan keenam. Saya tidak merasa tertarik lagi untuk berbicara dengannya.' [Karisma Sang Pembicara, Memberi Wibawa di Setiap Kata-kata, hal. 59-60, Eugane Enrich dkk]

Kenapa begitu?

Karena senyumannya, meski penuh pesona, tidak mencerminkan reaksi khusus pada M. Jika saja pembaca dari kalangan wanita bertemu dengan seorang pemuda yang tampan, lalu tersenyum pada Anda. Anda kemudian kelepek-kelepek. Anda pun -dengan instinct kegadisan- mulai memperhatikannya. Ternyata ia melukis senyum yang sama pada gadis lain. Gadis ketiga juga begitu. Janda pun disenyumi dengan format yang sama. Hingga nenek-nenek juga digitui. Pasti Anda kecewa. Setelah tertarik, rasanya tidak lagi. Karena Anda merasa sebelumnya diistimewakan, namun kemudian ternyata Anda tahu Anda bukanlah orang istimewa baginya. Dan senyumannya tidak istimewa lagi bagi Anda kemudian.

Senyumlah sesuai apa di hati.

Jika kawan melawak, Anda akan tersenyum, bukan?
Namun jika lawan atau yang Anda dengkikan melawak, apakah Anda akan menahan diri kuat-kuat agar tidak tersenyum?

Begitu juga:

Jika kawan membuat status bagus dan Anda suka, Anda akan menekan 'like', bukan?
Namun, jika lawan atau yang Anda dengkikan membuat status bagus, Anda senang isinya, namun mengingat Anda sebal atau dengki terhadapnya, apakah Anda akan menahan diri kuat-kuat agar tidak ngelike status?

Percayalah, urusan 'like' status ini untuk masa kini penuh dengan ketidakadilan. Gadis memajang foto manis, lalu me-like status pujaannya, demi dilihat oleh sang pujaan di notifikasi. Muqallid pun bertaqlid pada ustadznya atau gurunya dengan cara 'like' dulu baru memahami.

Kalau begitu, Anda boleh ubah judul tulisan ini menjadi:

[Katakan: 'Saya Tidak Nge-like Status Sembarang Orang']



No comments:

Post a Comment